Rabu, 21 September 2011

Tinjauan Kritis : Revolusi Hijau Untuk Kesejahteraan Petani (???)

foto by : reynold_f
Revolusi hijau ala Indonesia dikenal dengan Bimas (Bimbingan Massal) dan dilanjutkan dengan Inmas (Intensivikasi Massa). Dengan program ini pihak pemerintah/penguasa gencar melakukan program-program pertanian seperti subsidi pupuk hingga pada penyuluhan pertanian lapangan (PPL). Para petani diarahkan untuk mengikuti program dan mereka hanya dianggap sebagai objek sehingga ekspresi para petani tidak pernah terakomodasi. Petani hanya bisa mengikuti apa yang dianjurkan dari atas dan menjadi pelaksana program di tanahnya sendiri. Dengan mengikuti paket yang ada dalam Bimas maupun Inmas, petani harus mengikuti pola produksi yang telah ditetapkan. Pupuk kimia, pola tanam yang seragam, penggunaan bibit yang terkadang dengan merek tertentu, serta pestisida yang juga telah distandarkan. Semua itu membuat petani tergantung pada industri bibit, pupuk dan pestisida. Tidak hanya itu, keragaman bibit lokal yang dimiliki petani juga telah beralih tangan. Sebelum Revolusi Hijau, kita memiliki hampir 10.000 macam jenis bibit padi lokal. Semuanya tersimpan dalam IRRI (International Rice Research Institute) di Filipina dan menjadi milik AS. Kini hanya tinggal sekitar 25 jenis bibit padi lokal yang masih tersisa di Indonesia.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh para petani telah hilang dimana kemandirian yang dulu dimiliki sekarang telah berubah menjadi ketergantungan akan bibit, pupuk kimia dan pestisida, insektisida dan herbisida. Struktur organisasi tradisional yang dimiliki oleh petani telah dibuat seragam dengan membentuknya dari atas ke bawah bukan lahir dari keinginan petani itu sendiri sehingga organisasi petani yang kuat tidak pernah ada. Kepemimpinan lokal yang biasa tumbuh diantara petani dimusnahkan dan proses belajar mengajar diantara mereka juga telah hilang. Situasi ini terus berlangsung hingga saat ini meskipun kepemimpinan nasional telah berganti. Kepepmimpinan yang berpihak kepada petani yang merupakan bagian terbesar di negeri ini tidak pernah ada sehingga revolusi hijau yang dianggap sebagai penyelamat bagi pembangunan pertanian semakin berlanjut yang ternyata telah merusak ekologi dan sumber hayati bangsa ini. 
>
Penggunaan bibit unggul biasanya telah memaksa para petani untuk menggunakan pupuk kimia karena pada proses pembuatan bibit unggul tersebut telah disesuaikan dengan beberapa kondisi tertentu pada saat penanamannya sehingga harus menggunakan obat tertentu dalam pemeliharaannya. Pihak yang memproduksi bibit-bibit unggul dan pupuk kimia yang merupakan para pengusaha dari negara-negara maju menjadi pihak yang sangat diuntungkan dengan adanya ketergantungan para petani terhadap produk mereka. Penggunaan mesin-mesin pertanian dan pupuk non organik ini telah meningkatkan pengeluaran para petani sedangkan harga hasil pertanian mereka terus ditekan dengan kebijakan-kebijakan import beras dan hasil pertanian yang lain dari luar yang dipasaran harganya lebih murah sehingga harga hasil pertanian dalam negeri tidak mampu bersaing. Ketergantungan pada pupuk kimia dan pestisida juga telah menyebabkan keseimbangan lingkungan dan sosial rusak. Penggunaan pupuk kimia telah merusak lingkungan dimana humus tanah telah rusak dan binatang pengurai dalam tanah juga banyak yang mati serta penggunaan yang berlebihan telah menyebabkan banyak penyakit  yang muncul seperti kanker.

Motivasi awal dari revolusi hijau ini untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia dan meningkatkan kesejahteraan petani sudah tidak tepat. Memang diakui produksi pertanian telah mengalami peningkatan dan pertanian tradisional telah berhasil digeser menjadi pertanian yang modern tetapi kesejahteraan petani belum juga terwujud. Apalagi di Indonesia hingga sekarang masih menjadi pengimport beras walaupun pernah menjadi swasembada pangan pada tahun 1984 selama empat tahun. Namun harga yang harus dibayar untuk mewujudkan swasembada pangan tersebut sangatlah mahal. Ongkos yang harus dibayar oleh program revolusi hijau ini adalah hilangnya institusi lokal, musnahnya keanekaragaman sumber daya hayati, menurunnya kualitas tanah, serta menurunnya kualitas lingkungan secara keseluruhan. Bahkan, meskipun revolusi hijau telah berhasil meningkatkan produktivitas dan produksi pertanian secara menakjubkan, akan tetapi gagal dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan kemandirian pertanian. Inilah ongkos terbesar yang harus dibayar karena pertanian di Indonesia menjadi sangat bergantung pada industri raksasa pertanian dunia mulai dari pengadaan benih, pupuk, pestisida, hingga mesin-mesin pertanian. Apalagi hampir semua proyek-proyek besar pertanian (seperti pembangunan irigasi, pembelian alat-alat pertanian, dll) menggunakan pinjaman luar negeri yang artinya pembangunan tersebut menyisakan utang yang harus dibayar oleh seluruh rakyat Indonesia termasuk petani. Sejak saat itulah kemandirian bangsa menjadi sirna karena bangsa ini tidak lagi mampu menghasilkan sendiri sampai pada kebutuhan dasar sekalipun. Dalam kondisi ini petani semakin terpinggirkan.

Bersambung.................!!! 
Bersambung ke artikel :
Pertanian Organik Untuk Kesejahteraan Petani 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar